mar dan semut-semut di penghujung mata

/ /
di suatu malam ibu pernah menanggis memunggungi usianya. ibu pun hampir meraung saat nyala api mendidihkan air di atas sumbu kompornya yang hampir berkarat. tapi ibu enggan beranjak dan membiarkan bunyi ketel itu semakin melengking seperti kematian nenek di waktu subuh. mar saat itu sedang memandang keramaian di desanya dan ia mulai memikirkan betapa membosankan hidup menjadi tua dan betapa sulitnya mengusir semut-semut saat proses kematian merayap dari sela-sela kukunya suatu hari nanti. mar seperti merasakan kematian begitu dekat dengan tubuhnya. nafasnya seperti ikut terpenggal. mar, lihatlah! ibu berkata. kini desa telah membuat ukuran tubuhmu menjadi lebih kecil. tidak, bu. mar menjawab. tubuhku kini sudah menjadi lebih besar sehingga desa nampak begitu kecil bagiku. kemudian mar dan ibunya terdiam. mar merasa begitu akrab dengan jari-jari langit yang telah ia gapai dengan matanya sendiri.
mar seperti tak lagi memiliki keterikatan dan ketertarikan apa-apa di dunia ini. barangkali karena harapannya terlampau begitu besar, sehingga harapan-harapan itu dapat menyusut seperti balon-balon di udara dan menghilang. mar melihat ibunya sedang memandangi layar kaca dengan wajah yang begitu geram dan ia perhatikan arah gerak bibir ibunya terus beradu dari balik suara juga gambar yang ditampilkan. aku ingin seperti ibu! mar menghampiri ibunya. ibu ini hanya lulusan petani, mar, hanya mampu marah-marah di depan layar yang bisu dan tuli.

lain kali berjalanlah lebih lambat

/ /

kamu telah menghadirkan tubuhmu ke dalam mimpi-mimpiku yang sangat aneh dan ganjil akhir-akhir ini. hampir setiap harinya aku menemukan langkah-langkahmu membangunkan pagi sebelum kamu beranjak dari tempat tidurmu. aku hanya mampu memilin mata, hidung, bibir, dan helai-helai rambutmu untuk menjadi keutuhan penuh namamu. namun aku tak pernah berhasil menguraikan mimpi-mimpiku sendiri dan tubuhmu  semakin menyerupai hantu di sebuah kegelapan. sementara sentuhan-sentuhan ditanganmu begitu rikuh untuk mencapai bibirku yang kering. kecupmu hanya dapat menggapai pundakku dengan jari-jarimu yang panjang dan fasih menuliskan gerimis-gerimis kecil kepada salah satu perempuanmu. tapi kita pernah berpura-pura untuk lupa atau memang lupa tentang waktu dan kecemasan. membiarkannya untuk sedikit tak menghiraukan dan menunggu hingga pekatnya pijar di langit perlahan menepi. kita memutuskan untuk tetap berjalan dan sejenak mematikan perbincangan tombol-tombol televisi di atas kepalamu yang begitu tamak dengan kebisingan kota saat itu.

waktu hampir menggigil dan pagi ini kita pun terbangun. lebih sialnya,  terjebak oleh rutinitas. tak ada selamat pagi. barangkali jalanan pagi ini masih menyimpan sisa tubuhmu semalam; kita pernah begitu asing dan lekat di bawah sunyi yang lembab.

/ /
malam itu aku sedang berusaha menemukan kembali serpihan tubuhmu dari sebuah perhitungan jejak jengkal jari-jarimu. di sepanjang jalan  yang kau temui aku melihat nama-namamu memasang wajah begitu murung  bersama kegembiraan yang nampak sangat janggal. kau bersandar pada sebuah ingatan yang tak dapat kau gapai dengan percakapan yang kau dengar hampir ribuan kilometer dari daun-daun telingamu namun malam itu pula kau melihat suara tubuh seorang laki-laki mencuat dari pandang pengelihatanmu. langkahmu perlahan bergerak mundur dan aku  mulai mencatat isi pembicaraanmu yang tak pernah tuntas. malam itu sabit membentuk letupan wajahnya—laki-laki itu—begitu utuh. barangkali kau hanya ingin mengencani kesendirianmu malam itu sebab kau begitu merindukan tubuhnya yang hilang.

saat itu kau hanya mampu bertanya; mengapa sebuah perjumpaan datang begitu lembut dan pergi begitu kasar?
/ /






artwork by philippa rice 
<3
 
Copyright © 2010 fragmenhujan, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger