sebab sebutir hujan jatuh di kepalaku, pun tak kan sia-sia. aku mengelu pada coklat jendela untuk sekedar menciumi harum rambutmu. kemudian mengerling pada matahari yang tak kunjung muncul di atas bahuku. kau usap punggungku penuh kasih bapak. jangan sedih, katamu. tak ada yang membuatku bersedih kecuali kelahiran. meski aku kini sudah terlanjur lahir dari benih bapak dan punting ibuku. dan ketika anak-anak itu meraung seperti macan rimba tanpa tahu untuk apa dilahirkan, kecuali untuk menikmati aroma-aroma dari dalam hidung membuntahkan sampah. keluh. jalan. debu. peluh. nanah . tanganku mengepal majal. menangis di balik kelopak. dan kau mulai menciumi punggungku. kini aku memikirkan firdaus.
namun sepanjang ditempuh perjalanan tak akan sanggup memperkenalkannya padamu. atau mungkin tak sempat. waktu terlampau girang menyambutmu. dan mencurimu selepas kaki mengisut. kau mulai membisikkan sesuatu di tengkuk kerinduan pagi. kibas rambut kuputar searah wajahmu. kenapa menangis? kutanya seraya menyeka sengguk di ruas matamu. tak ada yang sia-sia, bukan? tanyamu.
kutahu bahwa hujan semakin menusuk bersama rasa ngilu di dalamnya.
saat ini sebutir hujan jatuh di kepalaku, pun tak kan sia-sia.
kutahu bahwa hujan semakin menusuk bersama rasa ngilu di dalamnya.
saat ini sebutir hujan jatuh di kepalaku, pun tak kan sia-sia.
tak ada yang kusia-siakan dalam kesia(l)-sia(l)an ini
0 comments:
Post a Comment