sepucuk surat untuk firdaus

/ /
hai, bagimana kabarmu, firdaus?
kau masih mengingatku?
mengapa kau hanya memandangku?
aku hanya menanyakan sebuah kabar
kau tahu sesuatu?

barangkali aku tak pernah mengenal siapa dirimu, pun sebaliknya. namun nafasmu begitu silir menjalar pada dinding tengkuk perapian, bahkan dengan nafasmu, kau mampu membakari hujan yang begitu padat di sore hari. ketika fajar menyingsing memasuki lubang sempit di antara dua jendelamu, dapatkah kau tahu akan sebuah kebenaran, firdaus? barangkali aku memang tak akan pernah mampu memahaminya. hanya saja aku mengira bahwa ia meramban begitu lamban di atas pucuk kepalamu. meski, ya, terkadang ia menyibakkan sembilu di relung gua kupingmu. kau tahu itu, firdaus?

hei, kenapa tersenyum?

aku hanya ingin memelukmu begitu rekat melekat, sehingga mereka tak akan mampu untuk membedakan mana dirimu mana diriku. sebab tidakkah kita membawa nikmat khuldi itu bersama, firdaus? kau tahu? setiap kali aku melangkahkan kedua kakiku, aku lewati mereka, aku tegadahkan kepalaku setinggi harum anyir darahmu yang mengalir. aku dapat merasakan kedua kakiku semakin tambun dan bernas. semakin aku membayangkanmu, semakin penuh pula derapku menyerupai pacu kuda.

kenapa masih tersenyum?

aku hanya ingin menemanimu, duduk atau barangkali berdiri sembari menunggu tabuh untuk di kumandangkan. apabila kau merasa begitu letih, aku dapat membantumu sedikit bagian saja hanya untuk dapat menyelesaikan potongan kepala dengan sebilah pisau yang kau torehkan di batang leher mereka. sehingga ketika bapak hakim mengetukkan palu pada pelupuk matamu, setidaknya aku telah menjadi bagianmu. demi sebuah keadilan, firdaus, kami menyambutnya dengan begitu girang seperti masa kanak-kanak kami; samar dan kelam.

ah, masih tersenyum?

aku hanya ingin mengatakan bahwa inilah yang kudapat dari hidup dan manusia. bahwa orang-orang yang begitu besar akan dapat dengan mudah membeli kami dengan uang, sementara orang-orang kecil seperti mereka pun dapat memanfaatkan kami demi sebuah keadaan untuk keinginan yang dapat ditakar dengan uang. iya, uang, firdaus. nilai yang selalu kau terima dan kau tukar dengan setetes darah di tanganmu. kau tahu, firdaus? masing-masing pada bumi belahan ini ada dua tangis di sebuah ruang kedap suara. aku dapat mendengarnya, namun tak dapat kubedakan apakah masing-masing meraung oleh seorang ibu yang telah meretaskan cangkak telur sehingga ia menangis? ataukah ia sedang berduka atas kepergian ibunya?

dan kau masih juga tersenyum

aku pun




0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2010 fragmenhujan, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger