telah kudapati kembali tubuhmu pada satu kesempatan bermula
bulan-bulan menggantung di atas kepalamu
membuatku harus berjalan menunduk sekedar memaparkan kedua mataku
untuk melihat apa yang tak terlihat
kaukah itu?
sebuah titik yang kugenggam telah menjadi dilema
berjalan pada satu poros tetap
apabila tubuhku menggunung, aku terjebak
kedalam sebuah keributan angin topan dimataku sendiri
kini aku menyusup dan belajar untuk memapah tubuhku
juga diriku
alangkah menyedihkan sebuah pertarungan, sayang
tak memenangkan juga tak mengalahkan
bahwa rupanya hal yang paling krusial adalah
melawan tubuh kita sendiri
satu harapan kembali melumat ujung lidah katamu
bantu aku memilin tubuhmu menjadi likat keutuhan
meski peluhmu tak dapat kurasakan di atas dadaku yang mengental
namun (setidaknya) kau telah mengaliri seteguk lelehan liur panas
ke dalam tubuhku yang akan terus di cerna oleh bayang
di kota ini
aku terjaga oleh pandangmu
bersama api yang telah kurapal setiap malamnya;
betapa kami merindukan penantian
oleh waktu yang tak pasti
0 comments:
Post a Comment