doa-doa telah mengering dan tak ada lagi wangi kamboja di atas perutmu. aku mencoba untuk memanjatkan beberapa harapan dihadapanmu namun bukan karena aku tak memiliki keberanian, hanya saja bibirku tak mampu menyuarakan keriuhan kanak-kanakku. mimpi-mimpiku aneh dan hampir semuanya tak memiliki makna, kecuali satu; dirimu. kala itu kaki kecilku berlari tanpa ampun sebab apabila mataku mengelu, kau hadir seperti pemburu liar yang bersiap santap untuk melahapku. kau hampir menyerupai raksasa pada patung dewa-dewa berwujud iblis dan maut. tidak seperti yang kau kira, nak. tuhan mendekapku dan menangis untuk berpulang. entahlah, saat itu aku merasa bahwa mimpi alam bawah sadarku menyembul pada permukaan esok paginya. hari besar diwarnai merah kesumba; adalah sebuah perjamuan kudus untuk setiap umat manusia. aku menyayangimu sekaligus mengutukmu, itu sebabnya aku tak memiliki doa-doa apapun untuk kukirimkan padamu. sudah menjadi kehendak angin untuk menghapus tikam jejakku, sehingga tak perlu lagi aku menjumpaimu. selain lantunan tembang yang kau ajarkan, kau banyak mengajariku tentang hidup dan cara bagaimana mendendam dengan rasa cinta. oh lihat, dan kini aku bertumbuh seperti rambai jati. mereka memeramku dengan selembar daunya; ada darah dan segumpal nasi di dalamnya. aku bersantap setiap pagi dengan harumnya yang mengingatkanku pada masa beliaku. masa ketika kamboja masih bertumbuh di pinggir-pinggir jalan.
0 comments:
Post a Comment