pada secangkir pagi

/ /
hujan memintaku untuk mengelu pada hitam langit saat burung-burung menguncupkan kedua sayapnya. namun hujan tak memintaku untuk memayungi telingaku dengan lelehan gemericiknya. aku hirup wanginya semakin dalam. wangimu ataukah wangiku? melebur memadati dinding-dinding suara kesunyian. kubiarkan suaraku meredam agar kau dapat mendengarnya. kubiarkan lidahmu menjilati setiap bagian kehidupan pada liang vaginaku. sebab kita telah mati dan burung nasar mencabik-cabiknya sedemikian rupa menjadi bagian terkecil dari rasa nyeri pada punggung. saat itu tuhan menatapku pada sebungkus kacang rebus. aku mendengar degupmu memacu seperti ritme derit kereta saat pertemuan dan perpisahan mengarah. tidakkah mereka dengan sengaja membuat jalur-jalur besi ini agar aku dan kamu tak dapat menghitung sebuah tanggal, bulan, dan tahun? tidakkah mereka begitu mengerti bahwa aku dan kamu adalah sekumpulan manusia menyedihkan? tuhan tertawa dan menatapku di balik tahu. aku ikut tertawa atau menertawakan atau menertawai. ah, aku tak dapat membedakan. mana lidahmu mana lidahku. mana wangimu mana wangiku. mana matamu mana mataku. mana tanganmu mana tanganku. mana tubuhmu mana tubuhku.

siapa namamu siapa namaku?

esok, katamu. ketika hujan tak lagi turun, namamu dan namaku akan menggeliat di atas kepala untuk menikmati secangkir pagi. 

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2010 fragmenhujan, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger